Kebiasaan Belajar Positif, Kunci Karakter Unggul Generasi Z

Ahad, 14 Desember 2025 - 14:09:07 WIB

Cut Raudahatul Miski, M.Pd

Artikel
Oleh: Cut Raudahatul Miski, M.Pd


     GENERASI  Z tumbuh di era digital penuh, dengan screen time rata-rata 6-9 jam per hari di perangkat seluler, ini menurunkan rentang perhatian, memori kerja, dan tingkatkan stres, semua menghambat rutinitas belajar disiplin. Di Indonesia, survei PISA tunjukkan hanya 35% siswa punya kebiasaan belajar konsisten, sementara laporan Kemendikbudristek 2025 catat kenakalan remaja naik 12% sejak 2023 akibat buruknya manajemen waktu. Namun, teladan seperti musisi Idris Sardi dan Putri Ariani serta para atlet olahraga menjadi bukti bahwa latihan konsisten membangun kesuksesan.

Saat ini, banyak orang tua melaporkan bahwa anak-anak mereka kesulitan mengelola distraksi digital serta tidak memiliki rutinitas belajar yang stabil di rumah (Purwandari, S., et.al, 2025), keengganan anak-anak melakukan tugas-tugas akademis dan pekerjaan rumah yang sering kali menumpuk.

Hal ini berkontribusi terhadap menurunnya nilai Akademik Kreativitas dan Inovasi Siswa (AKSI). Bahkan, laporan Kemendikbudristek tahun 2025 menyoroti meningkatnya angka kenakalan remaja sebanyak 12% dibandingkan dengan tahun 2023. berkaitan dengan buruknya manajemen waktu dan pembentukan kebiasaan di kalangan remaja.

Lingkungan perlahan-lahan menciptakan “ekologi kognitif” yang rusak. Memudarnya fokus berkelanjutan karena algoritma media sosial yang bersaing untuk mendapatkan perhatian melalui konten dan disainnya, budaya multitasking yang merusak fokus belajar, hingga kebutuhan validasi melalui like and share menggeser motivasi belajar intrinsik menjadi ekstrinsik.

Penelitian menunjukkan keterlibatan medsos tinggi korelasi nya dengan prestasi akademik yang rendah, bukan karena kemalasan, tapi multitasking konstan (May & Elder, 2018; Zhang & Rosenberg, 2024).

Salah satu cara paling efektif untuk menanamkan karakter positif pada generasi muda Indonesia adalah melalui pembinaan kebiasaan belajar yang baik. Kebiasaan bukanlah sekadar mengulangi sesuatu sesekali. Ini adalah pola otomatis yang dipicu oleh konteks. (Lally, 2009) menunjukkan rata-rata dibutuhkan 66 hari pengulangan yang konsisten agar suatu perilaku menjadi otomatis. Tetapi,untuk tugas-tugas kompleks (seperti belajar terstruktur), dibutuhkan waktu 3–6 bulan atau lebih karena mekanisme kontrol kognitif harus menguat seiring waktu.

Kebiasaan Belajar sebagai Pembentuk Karakter

Inilah bagian yang sering diabaikan orang: Kebiasaan membentuk identitas, yang pada akhirnya membentuk perilaku. Bukan sebaliknya. Kebiasaan belajar yang baik tidak hanya meningkatkan nilai. Kebiasaan tersebut menumbuhkan beberapa hal dalam diri seseorang.

Pertama, pengaturan diri yang membuat seseorang mampu  memilih tetap melakukan “usaha/pekerjaannya” daripada terhasut oleh gangguan yang ada. 
Kedua, penundaan kepuasan yang bisa membuat seseorang memilih untuk menyelesaikan proyek sebelum mencari imbalan.

Ketiga, mengembangkan metakognisi yaitu  berpikir tentang bagaimana ia berpikir. Sifat sifat ini sangat positif karena meningkatkan ketahanan terhadap stres, mengurangi perilaku pengambilan resiko, dan meningkatkan pengejaran tujuan jangka panjang – sifat sifat yang diperlukan oleh pemimpin masa depan.

Jadi ini bukan kepatuhan misalnya mengerjakan pekerjaan rumah karena paksaan seseorang, ini adalah disiplin internal. Menyamakan keduanya tidak akan menyelesaikan masalah Gen Z.

Keterlibatan aktif orang tua dalam pembelajaran bukan pengawasan, tetapi keterlibatan terstruktur berkorelasi dengan kebiasaan akademis yang lebih kuat (Jain & Puri, 2025; Xiong, Y., Qin, X., Wang, 2021). Selain itu, anggapan menyerahkan urusan ini sepenuhnya pada guru juga merupakan suatu kelemahan. Sekolah yang mengintegrasikan pelatihan fungsi eksekutif (perencanaan, penetapan tujuan, pemantauan diri) menunjukkan peningkatan yang terukur dalam disiplin belajar dan pengaturan emosi di antara siswanya seperti yang di kutip dari Cáceres-gonzález & Rossignoli-palomeque (2025). Guru sangat penting, tetapi tanpa dukungan orang tua dan institusional yang koheren, upaya akan terfragmentasi.

Sebagai rekomendasi, jangan remehkan lingkungan. Lingkungan membentuk perilaku seseorang. Perbaiki kondisi yang memecahkan perhatian bukan menyalahkan siswa. Ubah pola pikir menjadi belajar adalah struktur utama bukan motivasi utama karena motivasi akan berubah ubah, namun struktur tetap ada. Jadikan belajar merupakan proyek pengembangan kognitif jangka panjang bukan jangka pendek.
Untuk mewujudkannya, perlu beberapa langkah konkret,  antara lain,  mendesain ulang jadwal sekolah untuk membangun fokus yang berkelanjutan, misalnya,dengan memberikan batasan belajar 90 menit dengan gangguan teknologi minimal, menyelenggarakan program pendidikan orang tua yang mengajarkan cara membangun keterampilan belajar, bukan hanya memberlakukan batasan layar (screen time) serta  lakukan pencatatan konsisten terhadap kebiasaan apa yang membuat kemajuan terlihat dan bertahap. 

 

Terakhir, disain kurikulum fungsi eksekutif yang secara eksplisit melatih perencanaan, inisiasi tugas, dan pemantauan diri anak didik.
Jadi jangan menipu diri sendiri: mengharapkan disiplin belajar langsung dari Generasi Z—di tengah lingkaran dopamin media sosial—tidak realistis kecuali lingkungan juga berubah.

Dengan kata lain, lingkungan memiliki pengaruh tertinggi dalam perkembangan pembelajaran anak generasi Z. Maka perlu bagi orang tua dan sekolah untuk mengantisipasi digital slacking – mengakses konten digital yang tidak relevan selama waktu belajar. Lakukan pelatihan kebiasaan secara eksplisit bukan sekedar pemberian motivasi semata. Perkuat hubungan yang konsisten antara orang tua, guru dan sekolah. 
Sebagai penutup, bisa disimpulkan bahwa kebiasaan belajar berkaitan erat dengan pembentukan karakter nasional. Kebiasaan belajar yang baik memunculkan kemampuan anak didik untuk mengontrol kualitas perhatiannya terhadap ekspos digital, mengatur diri dan merencanakan sesuatu untuk jangka panjang. 

Perlu bagi para pemangku kebijakan, guru dan orangtua untuk membantu Gen Z lepas dari tekanan dari lingkungan digital yang menghargai gangguan. Membangun sistem infrastruktur kognitif yang kuat untuk pembelajaran yang disiplin dan memaksimalkan peran orangtua dengan cermat ditengah dunia digital yang tak henti menarik perhatian siswa.  Maka, tidak hanya nilai yang lebih baik yang akan didapat, tetapi juga karakter yang lebih kuat untuk bangsa yang hebat di masa depan.***