Penyemprotan Disinfektan Harus Selaras dengan Kesadaran Masyarakat
Brimob semprotkan disinfektan di Jalan Basuki Rahmat
YOGYAKARTA--(KIBLATRIAU.COM)--Memerintah daerah beserta aparat penegak hukum tengah sibuk menyemprotkan cairan disinfektan di jalan-jalan protokol. Langkah ini dinilai tidak efektif tanpa adanya peran aktif dari masyarakat untuk mencegah penyebaran Virus Corona atau Covid-19. Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM), Koentjoro mengatakan, kegiatan penyemprotan disinfektan bisa merupakan kegiatan positif melawan Corona jika dilakukan berulang kali. Namun, dia mengungkapkan, upaya tersebut juga bisa mengindikasikan masyarakat sedang tertekan atau tidak tenang secara psikologis."Menyemprot disinfektan itu nggak ada gunanya, itu hanya menenangkan secara psikologis. Tapi kalau itu kemudian dilakukan sekali nggak ada artinya. Karena sekali (menyemprot) iya bersih. Tapi setelah itu ada kontak, ada orang memegang, ada lagi. Termasuk juga kemudian ada bilik, itu katanya malah berbahaya. Karena penularannya bukan melalui udara tapi droplet," katanya saat dihubungi merdeka.com, Selasa (31/3/2020).
Atas dasar itu, dia menilai, kegiatan penyemprotan disinfektan secara besar-besaran juga berbahaya bagi masyarakat. Walaupun akan memberikan rasa aman, namun bisa membuat masyarakat tidak waspada."Mereka merasa aman. Kalau kemudian ada orang yang terindikasi kena virus ini main di situ dan meludah di situ. Ya di situ ada (virus). Ada yang memegang, ada di situ," tegasnya.Pertanyaan yang kemudian muncul adalah adakah kemungkinan dilakukannya 'terapi massal' kepada masyarakat yang tengah tertekan secara psikologis. Koentjoro mengungkapkan hal tersebut mungkin dilakukan.Langkah pertama dapat ditempuh dengan mencari informasi yang benar terkait Covid-19. Sebab akan sangat merugikan jika tekanan psikologis disebabkan oleh informasi yang tidak benar.
"Bisa dicarikan dengan katarsis. Rileks. Satu mencari sumber informasi yang benar. Jangan sampai paniknya itu karena informasi yang menyesatkan. Media sosial itu kan setiap hari berubah-ubah. Media massa diulang-ulang," paparnya."Sesuatu yang diulang-ulang yang tidak runtut itu menimbulkan prasangka. Prasangka bisa menjadi buyest. Kalau buyest kemudian stres itu rugi. Tapi kalau informasinya benar dan dia stres boleh. Silakan. Kalau menakutkan, kita stres itu wajar. Kalau informasi buyest, kita stres itu rugi," sambungnya.Langkah berikutnya, mengikuti anjuran yang disampaikan pihak yang berwenang misalnya dengan menjalankan pola hidup sehat."Ikuti anjuran. Misalnya tiap pagi berjemur. Sambil olahraga. Kalau memang tidak kuat sambil teriak-teriak. Itu juga bagian dari mengurangi stres. Kebahagiaan itu kan tidak dicari tapi diciptakan. bagaimana kita menciptakan suasana kita bisa senang," tandasnya.(Net/Hen)
Tulis Komentar