Kisah Buya Hamka Tolak Pangkat Mayor Jenderal dan Dubes Arab Saudi Demi Dakwah
Buya Hamka.
JAKARTA--(KIBLATRIAU.COM)-- Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka adalah sosok ulama besar Indonesia. Beliau banyak meninggalkan cerita soal keteladanan. Jika orang lain silau dengan pangkat dan jabatan, tidak demikian dengan Buya Hamka.Ceritanya sekitar tahun 1970an. Buya Hamka dipanggil oleh Menteri Agama kala itu, Mukti Ali, ke kantornya. Buya langsung diberi selamat. Dari semua nama yang diusulkan pada Presiden Soeharto,Buya Hamka dinilai paling tepat untuk menempati posisi istimewa sebagai duta besar Indonesia di Kerajaan Arab Saudi.Anak-anak Buya Hamka yang mendengar kabartersebut sangat gembira. Mereka dapat tinggal dan belajar di Arab Saudi.
Namun, istri Buya Hamka menolak tawaran mentereng sebagai duta besar untuk Arab Saudi. Dia memberi saran, lebih baik Buya Hamka melanjutkan dakwah di masjid dekat rumahnya. Masjid itu adalah Masjid Agung Kebayoran, yang kini diubah namanya menjadi Masjid Al-Azhar. Demikian ditulis Irfan Hamka dalam bukunya,Ayah..., Kisah Buya Hamka yang diterbitkan oleh Republika Penerbit tahun 2013.
Hj Siti Raham binti Rasul Sutan Endah yang biasa dipanggil Ummi ini mengingatkan kegiatan sebagai duta besar akan sangat sibuk. Lalu kapan waktu untuk BuyaHamka belajar dan mengajarkan agama lagi?"Hampir tiap malam nanti Angku Haji harus menghadiri jamuan makan malam yang diselenggarakan duta besar lain. Lalukapan waktu mengaji Alquran yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil?" kata istrinya.Sang istri mengingatkan dakwah yang dimulai oleh Buya Hamka di Masjid Agung Kebayoran sudah mulai semarak. Dia menilai mengembangkan dakwah di sana lebih bernilai daripada menjadi Duta Besar di Arab Saudi.
"Lebih baik masjid di depan rumah saja Angku Haji kelola dengan baik. Pahalanya dapat dirasakan oleh umat dan InsyaAllah diridhai oleh Allah SWT," kata Ummi,dengan lembut.Mendengar pandangan dari pasangan hidupnya, Buya Hamka pun kembali ke Kantor Kementerian Agama dan menolak jabatan duta besar tersebut denganhalus.
Bukan kali ini saja Buya Hamka menolak pangkat dan jabatan. Sebelumnya sekitar tahun 1960an, Buya Hamka dipanggil menghadap Jenderal AH Nasution yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Bersenjata dan Menteri Pertahanan. Buya akan dianugerahi pangkat mayor jenderal tituler. Hal ini diberikan mengingat jasa-jasa Buya dalam perang kemerdekaan dulu di Sumatera Barat dan Riau. Pangkat Mayjen tituler adalah pangkat kehormatan. Namun hak dan fasilitas yang diberikan tetap sama dengan pangkat mayor jenderal karir.
Sang istri memberi pertimbangan pada Buya Hamka untuk menolak. Menurut Ummi, lebih mulia jika Buya Hamka tetap berada di jalan dakwah saja. Buya pun menerima pertimbangan tersebut."Saya sudah dianggap ulama oleh masyarakat dan hobi saya hanya menulis. Tentu hal-hal tersebut sedikit banyak akan mengganggu tugas saya sebagai mayor jenderal walau Tituler," demikian alasan Buya yang disampaikan pada Jenderal Nasution.Irfan Hamka yakin sebenarnya ayahnya bisa langsung menolak kedua jabatan tersebut. Namun sudah menjadi kebiasaan ayahnya untuk mengabarkan ke keluarga serta meminta masukan dari istrinya.
Dari dua cerita di atas, dapat ditarik kesimpulan betapa Buya menghargai pendapat istrinya. Walau pun sebenarnya Buya sudah bisa menebak apa masukan dariistrinya soal tawaran jabatan tersebut. Keduanya bukanlah pasangan suami istri yang mudah silau akan jabatan.Berdakwah di tengah masyarakat dinilai lebih berarti daripada pangkat dan jabatan yang sifatnya hanya sementara. Semoga kisah ini bisa menjadi pengingat.(Net/Hen)
Tulis Komentar