Diduga Adanya Korupsi Gratifikasi, Kuasa Hukum Sani Laporkan Bupati Meranti ke Polisi
kuasa Hukumnya Ahmad Yusuf,SH
Laporan Edi Saputra Hasibuan
Kepulauan Meranti
SEMPAT menjadi sorotan di tengah-tengah masyarakat Meranti, terkait adanya pemberitaan di salah satu media online tentang kasus penipuan dengan modus perekrutan Pegawai Honorer Daerah dan Honorer Kategori Tiga (K3) pada tahun 2018 lalu.
Menyikapi hal itu, mewakili Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti Tasrizal Harahap,S.Pd selaku Kepala Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik (KESBANGPOL) secara resmi melaporkan Sani,SE.M.Pd alias Sani dengan Nomor Laporan : LP/56/VII/2020/Reskrim/SPKT pada Tanggal 21 Juli 2020 yang diduga melakukan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KHUP.
Menanggapi laporan tersebut, Sani melalui kuasa Hukumnya Ahmad Yusuf,SH (Abu Bakar Sidik & Paramitra) langsung melakukan laporan balik atas tuduhan yang dilaporkan pihak Pemda kepada dirinya tersebut.
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus No.129/SK-ABS/VIII/2020 pada tanggal 25 Agustus 2020 lalu, Ahmad Yusuf beserta rekan langsung mendatangi Kantor Markas Polisi Meranti di Jalan Raya Gogok Darussalam,Rabu,(2/9/2020) lalu.
Saat itu, Ahmad melaporkan adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi Gratifikasi yang diduga dilakukan saudara Mahmuddin Anhar,SH bersama Drs.H.Irwan,M.SI Bupati Kepulauan Meranti.
Bertindak Selaku Pelapor Tindak Pidana (WHISTLEBLOWER) dan ataupun sebagai korban adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi gratifikasi yang diduga dilakukan Mahmuddin Anhar,SH bersama Drs.H.Irwan,M.SI dengan dalil-dalil hukum sebagai berikut,
bahwa dasar hukum yang mengatur tentang pelapor tindak pidana (WHISTLEBLOWER) diatur dalam : Undang-undang Nomor : 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor : 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor :13 Tahun 2006 Tentang perlindungan saksi dan korban, dan peraturan bersama.
Kepada Media ini, Ahmad membeberkan bahwa tujuan kliennya mengajukan keberatan atas tuduhan yang dilaporkan oleh Pemerintah Meranti dan melaporkan kembali Pemda itu cukup mempunyai alasan dan bukti yang kuat, Rabu (2/9/2020).
"klien saya tidak terima atas laporan dan tuduhan Pemda kepadanya, dan berdasarkan bukti dan alasan hukum yang kuat dan kita sudah lapor Bupatinya," terang Ahmad.
Ahmad juga menjelaskan terkait laporan adanya dugaan tindak pidana korupsi gratifikasi yang ditujukan ke salah satu orang dekatnya Bupati (Mahmuddin Anhar,SH) bersama Bupati (Drs.Irwan,M.SI) itu akan harus dilakukan agar dapat membongkar kemana saja aliran dana tersebut.
"Setelah saya pelajari dan mendengarkan keterangan dari klien saya, disitu kita putuskan bersama tim kasus ini diduga adanya tindak pidana korupsi gratifikasi yang dilakukan Mahmuddin dan bupati"tegasnya.
"Yang jelas kita tetap menghargai proses hukum yang berjalan dulu. Selain itu tujuan saya bagaimana uang masyarakat bisa kembali dan pelaku tetap kita proses secara hukum," sambungnya.
"Dan besok pagi saya dan kawan-kawan akan mengantarkan tembusan laporan kami ke kantor bupati," pungkasnya.
Sementara itu, secara terpisah, Kamis,(3/9/2020) saat dikonfirmasi Kabag Humas Rudi Hasan,SH membenarkan adanya surat tembusan laporan balik pihak kuasa Hukum Sani yang ditujukan ke Pemerintah Kabupaten Kepualuan Meranti yang ditujukan ke Bupati langsung.
"Informasinya sudah masuk, mungkin di bidang hukum. Dan saya belum membaca apa isi-isinya," ujar Rudi.
"Untuk tindakan selanjutnya saya belum bisa memberikan statemen, mungkin akan dbahas di bidang hukum dulu nanti bari dikaji lagi. Karena sebelumnya Pemda sudah melaporkan Sani duluan melalui Kabag Kesbangpol," ungkap Rudi melalui via selulernya.
Sekedar Informasi, Situs Pusat Edukasi Anti-Korupsi KPK menuliskan, setiap tindakan yang memiliki indikasi gratifikasi kepada para pejabat atau pegawai negeri akan dianalisa untuk memastikan apakah tindakan tersebut ilegal.
Pemeriksaan tersebut untuk melihat sejauh mana pemberian atau hadiah berhubungan dengan jabatan penerima dalam kaitan tugas dan kewajibannya.
Lantas, apa bedanya dengan suap? Tindakan penyuapan diidentifikasi secara spesifik dilakukan oleh koorporasi atau pihak swasta dengan tujuan untuk memengaruhi pengambilan keputusan dari pihak penerima suap.
Dalam UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Tindakan gratifikasi dilarang karena dapat mendorong penyelenggara negara atau pegawai negeri untuk bersikap tidak objektif, tidak adil, dan tidak profesional dalam melakukan pekerjaannya.
Hal ini dapat membuat para petugas negara tersebut tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Selain itu, sanksi bagi pelaku maupun penerima gratifikasi dapat berupa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.
Bahkan, akan dikenakan pula dengan dengan paling sedikit sejumlah Rp200 juta rupiah dan paling banyak Rp1 miliar.***
Tulis Komentar