Hari Kedua Puluh Lima Ramadhan

Sampaikan Tausiah Subuh di Masjid Nurul Muhsinin, Simaklah Penjelasan Ustadz Samsurizal SAg

Ustadz H Samsurizal SAg saat menyampaikan tausiah usai sholat subuh Selasa (25/3/2025).

PEKANBARU --(KIBLATRIAU.COM)-- Pada hari yang ke dua puluh lima  bulan Ramadhan 1446 H ini, ustadz yang menyampaikan tausiah subuh  di Masjid Nurul Muhsinin yang berada di Jalan Ikan Mas,Kelurahan Tangkerang Barat, Kecamatan Marpoyan Damai yakni ustadz H Samsurizal SAg. Tausiah itu dilakukan setelah usai sholat subuh berjamaah ,Selasa  (25/3/2025).


Sebelum menyampaikan tausiah subuh , pertama-tama  ustadz Samsurizal mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan, keselamatan  sehingga bisa bersama-sama hadir di majlis ilmu yang sangat mulia ini,terutama di bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan ini. Tak lupa pula, ustadz Samsurizal juga berkirim salawat kepada Nabi Muhammad SAW , karena dengan banyak bersalawat akan mendapatkan safaat dan pertolomgan di yaumil akhir kelak, Amin ya rabbal alamin.


Dalam tausiah , ustadz  Samsurizal  menjelaskan bahwa bulan Ramadhan ini adalah bulan keberkahan dan penuh kemuliaan serta keampunan. Dimana setiap amal ibadah yang lakukan akan dilipatkan gandakan oleh Allah SWT. Oleh sebab itu. banyaklah melakukan amal ibadah di bulan Ramadhan ini. "'Maka dari itu tingkatkan lah amal ibadah kita selama bulan Ramadhan ini. Seperti qiyamul lail, sholat tarawih,witir, tahajud dan ibadah lainnya. Karena, tugas manusia yang ada di dunia ini dikatakan oleh Allah SWT hanya untuk beribadah," terang ustadz Samsurizal yang dikenal.dengan gaya lucunya,sehingga membuat para jamaah ketawa terkekeh-kekeh mendengar ceramahnya.

Dipaparkan ustadz Samsurizal bahwa tujuan utama puasa yang diwajibkan kepada orang beriman ini untuk memperoleh derajat taqwa. Karena taqwa merupakan kedudukan yang tinggi dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah 183: Yā ayyuhal ladzīna āmanū, kutiba `alaikumus shiyāmu kamā kutiba `alal ladzīna min qablikum la`allakum tattaqūn (Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa). Lalu siapa orang yang disebut taqwa.? Makna dari taqwa adalah Imtitsālu awāmirillāhi wajtinābu nawāhīhi (Melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya). Menurut Ali bin Abi Thalib, taqwa adalah Al-khaufu minal jalīl, wal `amalu bit tanzīl, wal qanā`atu bil qalīl, wal-isti`dādu li-yaumir rahīl (Takut kepada Zat Yang Maha Agung, mengerjakan apa yang diperintahkan, menerima dari yang sedikit, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat). 

Sedangkan menurut Ibn Mas`ud, taqwa adalah Ay-yuthā`a falā ya`shī, wa yadzkura falā yansā, wa ay-yasykura falā yakfur (Menaati perintah Allah SWT dan jangan melanggar, mengingat Allah dan jangan lalai, mensyukuri nikmat Allah dan jangan mengingkari).

Ketika Umar bin Khatab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang hakikat takwa, Ubay balik bertanya kepada Umar, “Apakah engkau pernah menempuh jalan berduri?” Umar menjawab, “Pernah.” Ubay kembali bertanya, “Apa yang engkau lakukan?” Umar menjawab, “syamartu wa ijtahadtu (Aku berusaha keras dan bersungguh-sungguh [agar tak terkena duri]).” Ubay bin Ka’ab berkata. “Itulah taqwa.”

Al-Qur’an menyebut sejumlah indikator seseorang disebut bertakwa, yakni (berdasar surah Ali `Imran ayat 134-135); Alladzīna yumfiqūna fis-sarrā-i wadh-dharrā-i (menginfakkan harta baik dalam keadaan lapang maupun sempit), wal-kādzimīnal ghaidza (menahan amanah), wal-`āfīna `anin nāsi (memaafkan kesalahan orang lain [kepadanya]), wallāhu yuhibbul muhsinīn (berbuat baik [kepada orang yang bersalah kepadanya]), walladzīna idzā fa`alū fākhisyatan au dzalamū anfusahum dzakarullāha fas taghfarū lidzunūbihim (dan apabila berbuat keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya).

Sedangkan dalam Surah al-Baqarah ayat 3-4, indikator orang bertakwa adalah Alladzīna yu’minūna bil ghaibi wa yuqīmūnas shalāta wa mimmā razaqnāhum yunfiqūna (beriman kepada yang gaib, menunaikan shalat, menginfakkan sebagian hartanya), walladzīna yu’minūna bimā unzila ilaika wamā unzila min qablika, wa bil ākhiratihum yūqinūn (beriman kepada kitab Allah al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya, dan beriman kepada hari akhir).

Berdasar sejumlah kriteria tersebut, takwa mengandung dua dimensi, yakni dimensi vertikal dan horizontal (hablun minallāhi wa hablun minan nāsi). Dalam dimensi vertikal, orang yang bertakwa (muttaqīn) adalah sosok yang memiliki keimanan yang mantap kepada Allah Swt dan ciptaan-Nya yang gaib (malaikat, hari akhir, surga, neraka, dan lainnya), beriman kepada kitab suci-Nya, istikamah melaksanakan shalat dan kewajiban vertikal lainnya, mensyukuri nikmat Allah dan bersabar atas musibah, rajin beristighfar atas segala kesalahan, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Sedangkan secara horizontal, muttaqīn adalah sosok yang mampu bergaul baik dengan orang lain, memaafkan kesalahan orang lain bahkan membalas kesalahan orang lain dengan kebaikan, mampu menahan amarah, dan suka menginfakkan sebagian hartanya kepada yang membutuhkan.

Maka, dengan makna dua dimensi ini, derajat takwa tidak mudah dicapai tanpa ikhtiar sungguh-sungguh dan pertolongan Allah. Lalu, mengapa ibadah puasa yang disebut al-Qur’an sebagai jalan menuju takwa (la`allakum tattaqūn)? Karena dalam puasa mengandung banyak dimensi ibadah, baik dimensi vertikal maupun horizontal.

Dimensi vertikal ditunjukkan bahwa berpuasa harus dikerjakan semata-mata karena Allah, dan karena itu, Allah berfirman dalam hadits Qudsi As-shaumu lī wa anā ajzī bihī (puasa itu untukku dan aku yang membalasnya). Karena dikerjakan lillāhi ta`ālā, maka orang yang sedang lapar berpuasa, tidak berani makan-minum di siang hari meskipun aman dari perhatian manusia, karena ia menyadari bahwa Allah pasti mengawasi dan murka. Nah, pembiasaan merasa diawasi & beribadah lillāhi ta`ālā melalui berlapar puasa dalam sebulan, diharapkan membekas dalam semua aktivitas keseharian, bahwa apapun yang diperbuat akan diketahui bahkan diawasi Allah, dan ibadah apapun akan dilakukan semata-mata karena Allah.

Sedangkan dimensi horizontal puasa, ditunjukkan dengan pembiasaan lapar sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Pembiasaan berlapar puasa dalam sebulan akan melahirkan empati bahwa lapar tidak enak dan menderita. Dari empati akan lahir aksi nyata untuk membantu kaum duafa. Apalagi di akhir Ramadan ditutup dengan kewajiban zakat fitrah, sebagai simbol keberpihakan kepada kaum duafa. Dimensi horizontal puasa juga ditunjukkan dengan larangan mengganggu orang lain selama berpuasa, seperti memfitnah, berdusta, sumpah palsu, berseteru, dan berkelahi. Bahkan jika ada orang memaki dan menyerangnya, saat dirinya berpuasa, dia mengalah dan berkata innī shā-imun ([maaf] saya sedang berpuasa).

Selain itu, berpuasa--yang makna asalnya imsāk (menahan diri)--juga memiliki makna vertikal dan horizontal. Secara vertikal, melalui puasa dilatih untuk menahan diri dari perbuatan dilarang Allah yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, berhubungan seks, dan lainnya. Sedangkan secara horizontal, puasa juga menahan diri dari perbuatan yang membatalkan pahala puasa, seperti memfitnah, berbohong, bertengkar, dan sumpah palsu. Nah, pembiasaan “menahan diri” selama Ramadan diharapkan memberikan bekas yang kuat pasca Ramadhan untuk juga menahan diri untuk tidak melanggar hak-hak Allah dan hak-hak manusia, bukan hanya yang terlarang (haram) tapi juga terhadap yang tak disuka (makruh).

"Orang yang bertaqwa tentu akan ditinggikan derajatnya. Maka dari itu, jangan sia-siakan bulan Ramadhan ini untuk melakukan amal kebaikan. Semoga segala dosa yang kita lakukan akan dihapuskan dan amal yang kita kerjakan selama bulan Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT.Sebab amal kebaikan yang kita lakukan di bulan ini dilipatgandakan. Karena target kita untuk menjadikan kita sebagai hamba yang bertaqwa. mudah-mudahan Allah SWT mengabulkan semua doa yang kita sampaikan, kepada nya," tutur ustadz Samsurizal.***

 


Berita Lainnya...

Tulis Komentar