Enam Poin Utama

Revisi UU KPK Dinilai Diperlukan karena Modus Korupsi Terus Berkembang

Ilustrasi KPK

JAKARTA--(KIBLATRIAU.COM)-- DPR menyetujui melanjutkan pembahasan Revisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Enam poin utama adalah pembentukan dewan pengawas, penyadapan, menambahkan kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), status pegawai KPK, kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Direktur Politik Hukum Wain Advisory Indonesia Sulthan Muhammad Yus menilai, Revisi UU KPK diperlukan. Dengan alasan persoalan dan modus korupsi yang makin berkembang sejak KPK pertama kali dibentuk."Persoalan korupsi, modus dan lain-lain terus berkembang. Yang dikhawatirkan adalah Undang-Undangnya yang ketinggalan," ujar Sulthan kepada wartawan, Sabtu (7/9).

Dia menyebut kasus korupsi bertambah setiap tahun. Sulthan menilai karena KPK terlalu fokus penindakan daripada pencegahan. Padahal menurutnya KPK harus menjalani kerja sama dengan banyak pihak untuk mencegah kebocoran anggaran. Itu menurutnya alasan UU KPK perlu revisi."Kita sudah memberikan waktu selama 17 tahun, ayo dong sekali-kalo kita coba sekarang pencegahan, artinya apa sistem yang dibangun," jelasnya. Sulthan menyebut KPK kurang diawasi dalam hal penyadapan. Menurutnya KPK bebas melakukan penyadapan tanpa pihak yang melakukan kontrol dan pengawasan. Dia menilai, ketiadaan pengawasan membuka potensi berbagai pelanggaran. "Kita tidak pernah tahu seseorang itu berapa lama dia disadap alat komunikasinya, berapa
lama dia disadap pembicaraannya, atau orang 1x24 jam semua bicara masalah korupsi, kan tidak. Ada privasi keluarga di situ, ada utang piutang dan sebagainya,"
ujar Sulthan.

"Selama ini bagaimana itu, kita kan tidak pernah tahu yang di luar KPK. Alasannya dia ambil yang menjadi alat bukti dia bawa ke persidangan, tapi untuk mendapatkan itu ada berapa hak-hak orang yang dilanggar," tambahnya. Oleh sebab itu, Sulthan menyarankan perlu ada pembatasan masa penyadapan. Misalnya tiga sampai enam bulan. Selain itu, dia menyarankan ada pihak yang memberi izin kepada KPK sebelum melakukan penyadapan. "Terserah apa mau diberikan ke dewan pengawas kalau di dalam draf revisi atau mau dikasih ke ketua pengadilan juga tidak masalah," ujar Sulthan.

Dia juga mengatakan kekhawatiran KPK akan adanya kebocoran jika penyadapan memerlukan izin dari pihak luar, hanya merupakan sebuah asumsi yang sengaja dibangun. Kata Sulthan, jika logikanya dibalik, tidak adanya eksternal membuat KPK bertindak sewenang-wenang. "Kita belum pernah mencoba sebenarnya bagaimana penyadapan ini, bagaimana ini kita kan enggak pernah tahu, sama sekali tidak tahu berapa lama. Kemudian setelah itu file-nya dikemanakan. Saya pikir ini
momentum yang paling tepat untuk buka-bukaan," pungkasnya.(Net/Hen)


Berita Lainnya...

Tulis Komentar