Status Darurat Pencemaran Udara Bakal Dicabut
Gubri Drs Syamsuar
PEKANBARU--(KIBLATRIAU.COM)-- Hujan lebat yang menguyur di sejumlah daerah di Riau beberapa hari terakhir membuat kabut asap dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mulai menghilang. Kualitas udara pun mulai membaik menuju level sehat seperti Pekanbaru, Dumai, Pelalawan dan daerah lainnya. Kendati begitu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau masih mempertimbangkan pencabutan status darurat pencemaran udara.Gubernur Riau (Gubri) H Drs Syamsuar MSi mengaku belum dapat memastikan status darurat pencemaran udara yang telah ditetapkan. Menurut Gubri, dia masih menunggu laporan hasil rapat yang dipimpin Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) membahas perihal tersebut.“Ini cuaca sudah bagus. Bisa saja dicabut (status darurat pencemaran udara, red),” ungkap Syamsuar, Rabu (25/9). Rencana pencabutan status itu, lanjut Syamsuar, berkaitan dengan dunia pendidikan. Sebab, aktivitas proses belajar-mengajar mulai tingkatan SD, SMP, dan SMA sudah lama diliburkan ketika bencana kabut asap melanda Bumi Melayu.
Status darurat pencemaran udara ditetapkan Senin (23/9) dan berlaku hingga, Senin (30/9) mendatang. Kepada Syamsuar, ditanyakan apakah pencabutan status tersebut akan dilakukan sebelum batas waktunya berakhir? mantan Bupati Siak itu tak menampiknya. “Bisa saja. Kita lihat perkembangan cuaca,” ujar Syamsuar. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mendeteksi adanya penurunan jumlah hot spot (titik panas) di wilayah Asia Tenggara, Rabu (25/9). Hasil ini didapat dari pantauan satelit polar NOAA-20, Terra-Aqua, SNPP selama tiga hari terakhir sejak 22-24 September 2019. “Setidaknya terdapat 3.216 titik panas dengan kategori tingkat kepercayaan tinggi di seluruh wilayah Asia Tenggara. Jumlah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah titik panas pada periode waktu 19-21 September 2019 capai 5162 titik,” kata Deputi Bidang Meteorologi Mulyono R Prabowo.Hot spot selain berada di wilayah Indonesia, seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Tapi juga dibeberapa negara lainnya.“Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Timor Leste juga terdeteksi,” ucapnya.
Dikatakan Mulyono, beberapa lokasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan menunjukan jumlah titik panas fluktuatif. Pada 21-23 September jumlah hot spot cenderung bertambah di wilayah Kalimantan Utara dan Kaltim. “Cenderung berkurang diwilayah Riau, Jambi, Kalbar dan Kalteng,” tambahnya.Selain itu, BMKG mencatat curah hujan turun di wilayah karhutla cukup memberikan kontribusi dalam pengurangan jumlah hot spot dan asap di beberapa daerah. “Pada 23 September, hujan cukup merata di Riau tercatat curah hujan tertinggi di AWS Kandis, Kabupaten Siak sebesar 12.3 mm,” ujarnya.
Bahkan BMKG juga mengidentifikasi terdapat perubahan kondisi atmosfer yang cukup signifikan sejak Senin (23/9). Perubahan itu berupa peningkatan desakan massa udara kering dari wilayah barat Indonesia. Adanya penguatan desakan massa udara kering ini mengakibatkan daerah massa udara basah cenderung meluas di wilayah Indonesia bagian selatan, kini cenderung meluas ke wilayah Indonesia bagian barat.Selain itu, daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi) akan terbentuk memanjang di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat. Keberadaan daerah konvergensi ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di wilayah Kalimantan dan Sumatera dalam seminggu kedepan.(Net/Hen)
Tulis Komentar