Jadi Pelajaran bagi Pejabat Pemerintah

Melihat Hikmah di Balik Kasus Dana Hibah Rp2 Triliun Akidi Tio

Publikasi penyerahan simbolis sumbangan Rp2 triliun dari keluarga mendiang Akidi Tio yang ternyata fiktif

SUMSEL--(KIBLATRIAU.COM)--  Nama mendiang Akidi Tio belakangan telah menyedot perhatian masyarakat. Bagaimana tidak, hibah sebesar Rp2 triliun dari keluarganya seperti oase di tengah terpaan pandemi Covid-19. Ibarat dapat durian runtuh, uang berjumlah fantastis yang disumbangkan kepada Pemprov Sumatera Selatan dari keluarga mendiang Akidi Tio, pengusaha asal Langsa, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, itu pun diterima dengan tangan terbuka. Sampai pada akhir mendekati tempo pencairan uang, barulah timbul rasa kecurigaan.

Hingga pada akhirnya, dana hibah yang dijanjikan tak kunjung membuat sejumlah orang, seperti Heryanty yang merupakan anak Akidi Tio dan Prof dr Hardi Darmawan yang mengklaim ditunjuk sebagai perwakilan keluarga, diperiksa atas kasus ini. Bahkan Kapolda Sumatera Selatan (Sumsel) Irjen Eko Indra Heri pun tak luput jadi pihak yang diperiksa Propam Polri.

Lantas apa hikmah yang didapat dari peristiwa dana hibah Akidi Tio? Akademisi STH Jahtera Indonesia, Yunus Husain menilai peristiwa dana sumbangan Akidi Tio dapat jadi pelajaran bagi pejabat pemerintahan ketika akan menerima dana secara cuma-cuma.''Jadi apa yang bisa ditarik hikmah atau pelajaran dari kejadian ini? Kalau saya lihat memang aspeknya banyak sekali, ada politik, hukum mau dikenakan pasal berapa, kemudian sosial ada, agama ada, yang kemarin pakai doa lho, datangkan kiyai segala macam-macam, ada juga masalah ekonomi," ujar Yunus dalam diskusi virtual, Selasa (10/8).

Padahal, Yunus menilai sumbangan Rp2 triliun dari Akidi Tio sedari awal patut dicurigai kebenarannya. Alasannya, sangat jarang ada tabungan perorangan nominalnya mencapai triliunan rupiah. Kalaupun ada, kata Yunus, uang tersebut biasanya dimiliki perusahaan.

''Saya sempat cek ke Bank Mandiri, memang hampir tidak ada yang punya uang Rp2 triliun perorangan. Yang ada itu mungkin perusahaan ya, yang punya giro atau yang melakukan pemindahbukuan seperti itu. Secara teori ada, tapi praktiknya hampir tidak ada dan tidak lazim,'' ujarnya.

''Nah hal ini seharusnya para penjabat kita menggunakan akal sehat yang kritis, kok bisa-bisanya lagi musim seperti ini orang membuat sekian banyak dan biasanya individu tidak ada yang yang sekian besar. Dan kalau dia mau menyumbang menggunakan bilyet giro itu serasa janggal. Kenapa? Karena bilyet giro itu 2 Agustus tanggal efektifnya tanggal yang sama diberikan kepada yang penerima,'' tambahnya.

Oleh sebab itu, Yunus mengingatkan jika kasus seperti Akidi Tio ini pun sudah sering terjadi. Dengan modus yang dinamakan advance fee fraud atau kerap dikenal penipuan biaya di muka, yakni menawarkan uang bantuan, pinjaman, atau hibah, namun memberikan sejumlah persyaratan yang pada akhirnya uang tersebut tak kunjung cair.

"Meskipun saya juga pernah dengar Presiden Nigeria juga pernah tertipu dengan cara advance fee fraud ini. Jadi hati-hati kalau ada yang menawari macam-macam," imbaunya."Ya pelajaran pertama seharusnya kita memakai akal sehat pada saat ditawarkan bantuan seperti itu," lebih lanjutnya.

Pada kesempatan yang sama, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Puji Nugraha Simatupang memaparkan alur persyaratan untuk negara dapat menerima dana hibah baik dari seseorang maupun kelompok. "Boleh saja, sepanjang semua penerimaan dan pengeluaran harus melalui mekanisme APBN, masuk dan keluar melalui rekening negara kas negara, melalui prosedurnya yang taat aturan dan patut," jelasnya.

Dian mengutarakan bahwa penerimaan dana hibah oleh seluruh penjabat publik pemerintah harus telah tersistem dan masuk ke catatan APBN. Oleh karena itu, sebelum terdata dalam anggaran, dana hibah haruslah terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Kementerian Keuangan. Dalam kasus Akidi Tio, konsultasi bisa dilakukan kepada pihak Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPB) untuk mengetahui mekanisme penyerahan dana hibah.

"Jadi misalnya si bapak ini keluarganya mau menghibahkan ya silakan, dikonsultasikan diberitahukan dulu ketika ada niatan itu. Jangan langsung ujung-ujungnya dipublikasikan," terangnya.Dana yang telah dikonsultasikan tersebut pun harus disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), karena ini menyangkut keuangan negara. Mekanisme konsultasi ini patut dilakukan, karena negara tidak boleh menerima uang dari sumber yang tidak jelas atau terlarang.

"Misalnya jangan sampai negara memajak atau menerima sesuatu dalam transaksi narkoba, pencucian uang, atau transaksi gaib yang dulu viral bagaimana pajak dari hasil penerimaan tuyul. Karena kausal halalnya tidak bisa terpenuhi," terangnya''Jika profil pemberi hibah diasesmen konsultasi itu diharapkan. Siapakah kemudian profil orang ini? Kemudian dilihat misalkan valid barulah dapat diregister sebagai pemberi hibah,'' lanjutnya.


Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai bahwa pemberian dana hibah terkadang kerap dijadikan modus melakukan tindak pidana korupsi. Bahkan dia menyebut setiap tahunya ada saja kasus korupsi yang terkait dana hibah.''Hibah dan korupsi, karena dua isu ini sering kali berkelindan. Praktik korupsi sering kali melakukan modus dana hibah dengan meraup keuntungan dari para pejabat publik," terangnya.

Kurnia pun mengkritik langkah sejumlah penjabat publik yang kala langsung mengumumkan dan memublikasikan secara besar-besaran terkait pemberian dana hibah sebesar Rp2 triliun oleh Akidi Tio, tanpa melakukan kroscek lebih lanjut.

''Tentu kita sebagai masyarakat malu melihat perilaku dari pejabat publik apalagi kejadian Akidi Tio dihadiri langsung petinggi, oleh penegak hukum, pemerintah provinsi, ada dari kalangan militer, ternyata fakta sebenarnya tidak ada uang sebesar itu. Bahkan pernyataan dari teman-teman PPATK jumlahnya sangat jauh dari angka Rp2 triliun tersebut,'' ungkap Kurnia.

Padahal, Kurnia menyebut dalam rentetan kejadian korupsi sudah kerap kali diawali dengan modus dana hibah. Dia mencontohkan dana hibah terhadap suatu program yang diajukan lewat proposal fiktif dan modus pemotongan dana hibah oleh pemberi ketika diberikan kepada penerima.

Kemudian, terkait adanya komitmen antara pemberi dan penerima dana hibah yang akan dibagikan sekian persen untuk keuntungan pribadi usai dana tersebut cair. Termasuk rekayasa laporan pertanggungjawaban (LPJ) ketika para penerima dana hibah telah rampung menyelesaikan tanggung jawabnya sesuai persyaratan sebelumnya. ''Kemudian diberikan berturut kepada organisasi tertentu, sebenarnya potret kasus dana hibah ini sudah banyak menjerat kepala daerah. Lalu suap kepala daerah oleh penerima hibah, agar proses pencariannya bisa dipercepat, atau agar organisasi itu dimasukkan ke dalam penerima dana hibah tersebut,'' sebutnya.

Tak cuma itu, Kurnia mengungkap ada tren ketika menjelang pemilihan kepala daerah pada sejumlah tingkatan, anggaran dana hibah yang naik drastis pada tahun sebelumnya. Kasus-kasus seperti itu telah banyak ditangani KPK, Kejaksaan, maupun Kepolisian.

Kurnia pun mencontohkan kasus mantan Menpora, Imam Nahrawai, yang terjerat kasus dana hibah dugaan korupsi dari pihak KONI Rp11,5 miliar. Kemudian kasus suap dari mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho ke puluhan bekas anggota DPRD Sumut. Lalu, kasus penyelewengan dana hibah yang dilakukan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang menimbulkan kerugian negara miliaran rupiah. Beberapa kasus ini, kata Kurnia, telah jadi potret eratnya persoalan dana hibah dengan lingkaran korupsi.

Namun demikian, kasus dana hibah Akidi Tio sampai saat ini masih terus diselisik duduk masalahnya. Aparat penegak hukum pun terus memeriksa sejumlah pihak terkait untuk memastikan apakah ada unsur pidananya, karena hingga kini belum ada tersangka yang ditetapkan.(Net/Hen)


Berita Lainnya...

Tulis Komentar