BNSP Lembaga Independen yang Dibentuk Pemerintah

Model Comptency Based E-Training Bidang Software Development sesuai Standar BNSP

Syahtriatna D

Oleh : Syahtriatna D. Mahasiswa Program Doktor Program Studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (PTK) Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang
 
         KONDISI perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) secara nasional berdasarkan Information Communication Technology (ICT) Development Index1 (IDI) yang disampaikan oleh The International Telecommunication Union (ITU) dan Mobile Connectivity Index2 (MCI). Indonesia mempunyai angka pertumbuhan yang tinggi,  dan Indonesia menjadi bagian dari 10 negara yang mendapatkan peningkatan tinggi dengan nilai 46 pada tahun 2014 serta bertambah menjadi 61 pada tahun 2018. 

Berdasarkan skor IDI tahun 2017, Indonesia ada pada peringkat ke 111 dari 176 negara dunia, memiliki skor 4,33 dari 10. Indonesia masih berada di bawah Thailand. Thailand berada pada peringkat 78. Sesuai data IDI tahun 2017, menggambarkan proses pembangunan TIK Indonesia masih di bawah dari negara Asia Tenggara lainnya. Perkembangan TIK menghasilkan tren industri 4.0 secara global, yang dimulai dengan berkembangnya terobosan-terobosan teknologi, meliputi robotic, Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), 3D printing, autonomous vehicles,. Perkembangan industri 4.0 menyebabkan terjadi shifting pada bidang sumber daya manusia. Pekerjaan low-level/repetitive dapat digantikan oleh sistem atau otomatisasi.  Pada penelitian Oxford Economics tahun 2018, ditemukan pada negara di Asia Tenggara, diperkirakan terjadi job displacement yang besar. Dari penelitian itu, Indonesia juga diperkirakan akan mengalami kehilangan 9,5 juta pekerjaan yang disebabkan oleh otomasi serta disrupsi digital.

Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 mengenai Satu Data Indonesia. merupakan suatu upaya dari pemerintah pusat dalam mempercepat proses integrasi data yang ada pada seluruh instansi pusat serta daerah. Terdapat 27.400 atau lebih aplikasi serta  27.400 platform basis data yang berbeda, multi-standard,  memiliki data tersebar dan tidak terintegrasi. Keberadaan aplikasi atau platform berbasis data tersebut, memerlukan sumber daya manusia bidang software development. 

Dunia industri dan lembaga pemerintahan memerlukan tenaga programmer yang kompeten akan bidangnya. Mengacu kepada standar yang ada, kompetensi tersebut dapat dibuktikan, salah satunya adalah dengan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Badan Sertifikasi Nasional Indonesia (BNSP). Badan Nasional Sertifikasi Profesi disingkat (BNSP) adalah sebuah lembaga independen yang di bentuk pemerintah berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Lulusan perguruan tinggi atau tenaga kerja yang sudah bekerja pada berbagai intansi dapat mendaftar sebagai calon asesi / calon peserta uji kompetensi bidang software development sub bidang pemrograman pada Lembaga sertifikasi yang sudah terdaftar pada BNSP.  Berdasarkan data yang ada, kurangnya minat calon asesi disebabkan karena berbagai hal diantaranya adalah perlunya mengkonstruksi kembali pengetahuan para calon asesi terhadap pengetahuan pemrograman yang sudah pernah mereka peroleh. Untuk mengkonstruksi ini, diperlukan pelatihan yang dapat diikuti oleh calon asesi. Calon asesi memiliki perbedaan dari tingkat kompetensi, ketersediaan waktu, ketersediaan kemampuan dalam membiayai pelatihan.

Pelatihan berbasis kompetensi ini, didasarkan kepada tiga factor teoritits. Teori behaviorisme, manajemen ilmiah, dan pendidikan progresif  yang dikembangkan oleh Edward L. Thorndike, Frederick W. Taylor, dan John Dewey pada awal abad ke-20. Ini juga membahas enam teori terkait yang dikembangkan pada akhir 1950-an dan awal 1960-an yaitu pengkondisian operan, pengujian kompetensi minimum, desain instruksional, instruksi berbasis tujuan, pembelajaran berbasis penguasaan, dan pengujian referensi kriteria.

Pelatihan berbasis kompetensi ini belum dapat mengatasi masalah keberagaman, tempat dan waktu. Untuk itu diperlukan kombinasi antara pelatihan berbasis kompetensi dan teknologi. Menurut Syahtriatna D, mahasiwa Doktor pada program studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (PTK ) Fakultas Teknik Universitas Padang, kombinasi CBT dan teknologi ini dikembangkan dalam sebuah model pelatihan. 
Syahtriatna D mengembangkan sebuah model yang disebut sebagai Model Competency Based eTraining. Model ini dikembangkan dari  model-model yang sudah ada. Model Personalised System of Instruction (PSI) yang diciptakan oleh Keller pada akhir 1960-an; Model of School Learning oleh John B. Carroll pada tahun 1963; Model of Mastery Learning oleh Cimino tahun 1980; Model of Mastery Learning oleh Fuchs tahun 1995 dan Model of Mastery Learning oleh Bloom tahun 1971.

Model pelatihan ini terdiri dari satu sintak dan enam Langkah: (1)Penetapan capaian unit kompetensi sesuai dengan skema uji kompetensi yang akan diikuti;  ( 2)Penyajian materi secara daring yang dibagi dalam unit-unit kompetensi; (3)    Asesmen mandiri awal; (4) Pelatihan mandiri secara daring, sesuai dengan materi unit kompetensi yag belum kompeten; (5) Diskusi; (6) Asesmen mandiri akhir. Setelah di ketahuii validitas, praktikalitas dan efektifitas melalui berbagai tahap pengujian, pengukuran dan Focus Group Discussion, model ini diimplementasikan. 

Pengembangan model ini menghasilkan lima novelti yaitu :  (1) materi yang ada dalam media aplikasi,  dikelompokkan sesuai dengan unit kompetensi; (2) Penyajian masing-masing materi disesuaikan dengan capaian unit kompetensi yang meliputi Pengetahuan, kerampilan, sikap kerja dan aspek kritis; (3) calon asesi memilih dan mempelajari materi yang belum kompeten saja; (4) Asesi dapat melakukan diskusi daring terkait unit-unit kompetensi dari materi oelatihan; (5) Model pelatihan yang menyenangkan dan menghilangkan kecemasan karena Media Pelatihan yang memberikan kebebasan waktu, tempat dan materi yang akan dipelajari dalam pelatihan.


Pencapaian sistem sosial pada proses pelatihan dalam model pembelajaran ini berupa adanya kedisplinan dalam pengukuran kompetensi yang dimiliki, melaksanakan pembelajaran mandiri yang diiringi dengan kolaborasi antara sesama calon asesi. Pada prinsip reaksi, calon asesi melakukan asesmen mandiri, untuk mengetahui capaian atau peningkatan kompetensi calon asesi. Apabila masih ada capaian kompetensi yang belum dikuasai, maka calon asesi dapat mempelajari kembali materi-materi yang ada, karena proses pembelajaran materi tidak harus berurutan dari tahap awal ke tahap akhir. Sistem pendukung untuk menjalankan pengembangan model competency based eTraining yang dikembangkan ini memerlukan perangkat pembelajaran atau pelatihan, Seperti buku materi/ modul, buku panduan, sistem eTraining/ aplikasi. 
Dampak instruksional sebagai hasil yang akan dicapai setelah diterapkan model competency based eTraining untuk menghadapi uji kompetensi bidang software development sub bidang pemrograman adalah calon asesi mendapatkan peningkatan kompetensi.

Untuk dampak pengiring  dimana calon asesi dapat belajar daring, maka terjadi fleksibelitas dalam belajar dimana dan kapan saja secara bebas.Model competency based eTraining yang dikembangkan ini, akan membantu lembaga penyelenggara uji kompetensi untuk mempersiapkan calon asesi untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam menghadapi uji kompetensi, khususnya bidang software development sub bidang pemrograman.

Lembaga penyelenggara uji kompetensi dapat menyediakan pelatihan daring yang dapat diikuti oleh calon asesi yang memiliki berbagai tingkat kompetensi yang berbeda, waktu belajar yang berbeda, serta kemampuan pembiayaan yang berbeda.  Adanya solusi berupa sebuah pelatihan daring yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesiapan dalam menghadapi uji kompetensi, membuat ketertarikan calon asesi untuk mengikuti uji kompetensi. Peningkatan jumlah calon peserta uji kompetensi yang sudah mendapatkan pelatihan, akan meningkatkan jumlah programmer yang memiliki sertifikasi sesuai standar BNSP. ***


Berita Lainnya...

Tulis Komentar