Blak-blakan Gus Miftah

Kiai yang Nyentrik Bertarif 3M dan 7,5M

Gus Miftah 

JAKARTA--(KIBLATRIAU.COM)-- Miftaim An'am alias Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah mengaku menjadi pendakwah karena kecelakaan sejarah. Suatu hari, khatib Jumat yang diundang berhalangan hadir. Sebagai pengurus masjid, dia diminta menggantikannya. Ternyata banyak anggota jemaah yang terpikat oleh gayanya berkhotbah. "Sejak itulah saya mulai lebih intens belajar menjadi penceramah," kata Gus Miftah, yang pernah nyantri di Pesantren Pembangunan Bustanul Ulum Jayasakti, Lampung Tengah dan Nurul Huda, Sragen, kepada detikcom. Miftah pun mulai keluar-masuk kampung di sekitar Yogyakarta memberikan ceramah keagamaan. Belakangan, selain berceramah ke berbagai daerah di Tanah Air, dia kerap diundang untuk berdakwah ke Hong Kong, Korea, beberapa negara Eropa, hingga Amerika.

Meski begitu, sebagai orang yang pernah hidup susah, Miftah tak melupakan kelompok masyarakat yang pernah senasib dengan dia di masa lalu. Juga terhadap mereka yang oleh sebagian pihak mungkin dianggap nista."Sejak belasan tahun lalu saya rutin keluar-masuk lokalisasi di Yogya untuk berceramah," kata Gus Miftah. Dia juga berceramah di diskotek dan kelab-kelab malam serta ke berbagai komunitas. Seiring dengan namanya yang kian populer, perlakuan para pengundang kepadanya pun beragam. Ada yang pernah menjemputnya dengan helikopter dan mobil mewah, pernah juga dia harus melintasi sungai dengan getek. "Itulah seni dan romantika juru dakwah. Itu risiko orang berdakwah," kata Gus Miftah, yang pernah kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga.


Popularitas tak membuat Miftah bertingkah, khususnya soal honor. Dia mengaku tak mematok tarif ketika memenuhi undangan berceramah. Sebab, dia tak menganggap menjadi menjadi juru dakwah sebagai profesinya, tapi dia bertekad profesional melakoninya. Dengan begitu, dia tidak mau disebut sebagai orang yang mencari pendapatan dari dakwah. "Karena tidak pernah memasang tarif, terkadang ada yang memberi banyak, tapi ada juga yang sedikit. Ada juga yang cukup memberi 3M (matur nuwun Mas Miftah) atau 7,5 M (pitulungan setengah mekso)," tutur Miftah diiringi derai tawa.

Kalaupun kemudian sekarang ini dia tampak berkecukupan, punya rumah dengan halaman luas serta membangun masjid dan pesantren dengan seratusan santri dan santriwati, Miftah menyebut hal itu sebagai berkah dakwah. "Itu semua bukan hasil dari dakwah, tapi berkah dari dakwah," ujarnya. Ia sengaja menampung para santri yang sebagian di antaranya anak-anak jalanan, punk, dan mantan preman sebagai bagian dari rasa syukurnya. Sebab, di masa lalu, ketika baru datang dari Lampung ke Yogya, Miftah mengaku menjalani kehidupan yang sangat sulit. Bahkan untuk membayar pondokan saja tak mampu sehingga dia terpaksa tinggal di masjid sebagai marbot."Saya dulu selalu berdoa, ya Allah, bila saat ini saya susah makan, maka atas izin-Mu esok lusa saya harus bisa memberi makan orang lain. Bila hari ini saya tak punya tempat tidur, maka kelak saya harus bisa memberi tempat tidur bagi orang lain. Alhamdulillah,'' ujarnya.(Net/Hen)
 


Berita Lainnya...

Tulis Komentar